TIMES DEMAK, YOGYAKARTA – Jogja Mendongeng 2025 kembali membuktikan bahwa dongeng bukan sekadar hiburan anak-anak, melainkan ruang perjumpaan yang intim antara cerita, manusia, dan nilai-nilai kehidupan.
Memasuki tahun ketiganya, gelaran literasi ini sukses mencuri perhatian publik dengan konsep sederhana namun sarat makna, terlebih karena untuk pertama kalinya diselenggarakan di kawasan pedesaan.
Berkolaborasi dengan Sanggar Kinanti Minggir, Jogja Mendongeng 2025 digelar selama kurang lebih tiga jam dan disambut antusias luar biasa oleh para penonton.
Sejak pagi hari, warga bersama anak-anak telah memadati lokasi acara. Mereka tampak bertahan hingga acara usai tanpa beranjak dari tempat duduk, larut dalam suasana dongeng yang hangat dan penuh keakraban.
Berbeda dari dua tahun sebelumnya yang berlangsung di auditorium IFI LIP Yogyakarta, tahun ini Jogja Mendongeng memilih ruang terbuka di desa sebagai panggung utama.
Keputusan tersebut justru menghadirkan nuansa baru: lebih dekat, lebih membumi, dan terasa personal. Kesederhanaan setting berpadu dengan kekuatan cerita, menjadikan setiap dongeng terasa hidup dan menyentuh emosi penonton.
Angkat Semangat Gugur Gunung dan Kearifan Lokal
Pada penyelenggaraan tahun ini, Jogja Mendongeng mengusung tema “Gugur Gunung”, sebuah filosofi Jawa yang menekankan semangat gotong royong dan kebersamaan.
Tema ini dipilih sebagai refleksi atas kondisi sosial saat ini sekaligus upaya mengenalkan kembali kearifan lokal kepada generasi muda.
“Tema Gugur Gunung kami pilih sebagai bentuk respons terhadap bangsa ini. Sekaligus menjadi cara kami memperkenalkan nilai-nilai lokal yang selama ini hidup di masyarakat,” ungkap Kak Diaz, penggagas Jogja Mendongeng, Senin (22/12/2025).
Lebih dari sekadar pertunjukan, Jogja Mendongeng 2025 melibatkan warga sekitar secara aktif, mulai dari persiapan hingga pelaksanaan acara. Kolaborasi ini menjadi wujud nyata pemberdayaan masyarakat, sekaligus mengajak anak-anak dan orang tua untuk kembali merefleksikan nilai berbagi, saling menjaga, dan membantu sesama.
“Kami ingin mengajak penonton, terutama anak-anak, untuk ngobrol lewat dongeng. Mendengarkan sudut pandang mereka dan membangun empati bersama,” tambah Kak Diaz.
Dengan konsep terbuka, penonton diberi kebebasan menikmati pertunjukan sambil merasakan suasana desa yang asri. Angin, pepohonan, dan ruang terbuka menjadi bagian dari pengalaman mendongeng itu sendiri.
Bukan Sekadar Dongeng, Tapi Pengalaman Bersama
Jogja Mendongeng selalu menghadirkan inovasi di setiap edisinya. Tahun ini, tantangan baru dihadirkan dengan membawa dongeng kembali menyatu dengan alam.
“Kami mencoba bereksperimen. Menarik dongeng lebih dekat dengan alam sekaligus membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat,” jelas Rangga Dwi Appriadinnur, Direktur Artistik dan Manajemen Pertunjukan Jogja Mendongeng.
Para pendongeng ditantang untuk memaksimalkan media yang tersedia di lokasi serta membangun interaksi langsung dengan penonton. Interaksi inilah yang menjadi kekuatan utama Jogja Mendongeng—menghapus jarak antara panggung dan penikmat cerita.
“Kami ingin penonton benar-benar menikmati pertunjukan, berhenti sejenak dari ritme hidup yang serba cepat,” ujar Rangga.
Deretan Pendongeng dengan Ragam Genre
Jogja Mendongeng 2025 menghadirkan beragam pendongeng dengan genre yang variatif. Sanggar Wiwitan tampil dengan dongeng berbahasa Jawa yang dibawakan oleh anak-anak muda, memperkuat identitas lokal. Jieun Lab menyuguhkan dongeng sains yang edukatif dan menyenangkan.
Sementara itu, Kak Lita mengajak penonton bernostalgia melalui dongeng yang dipadukan dengan lagu-lagu anak berbahasa Jawa. Keunikan lain hadir lewat Wayang Kebon, pertunjukan wayang berbahan rumput yang menghadirkan pengalaman visual berbeda.
Tak ketinggalan, pendongeng cilik Zahra, yang telah menorehkan berbagai prestasi di tingkat lokal dan nasional, turut memukau penonton.
Acara ditutup dengan penampilan kolaborasi hangat antara Kak Diaz dan Kak Rangga, meninggalkan kesan mendalam bagi seluruh hadirin.
Harapan untuk Jogja Mendongeng di Masa Depan
Respon positif datang dari para penonton. Natalia, salah seorang pengunjung, menilai acara seperti Jogja Mendongeng sangat penting untuk diperbanyak dan menjangkau wilayah pelosok.
“Anak-anak tidak hanya mendapat tontonan, tapi juga tuntunan,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Ayik, yang berharap Jogja Mendongeng dapat digelar lebih rutin dan bertepatan dengan musim liburan sekolah. “Kalau bisa diadakan minimal dua kali setahun. Keren sekali kalau rutin,” katanya.
Antusiasme masyarakat terhadap kegiatan literasi, khususnya dongeng, menunjukkan bahwa Yogyakarta memiliki potensi besar sebagai kota ramah cerita. Kak Diaz pun berharap dukungan dari berbagai pihak dapat terus mengalir.
“Meski terlihat sederhana, dampaknya luar biasa. Sudah saatnya Yogyakarta menjadi daerah yang istimewa juga untuk dongeng,” pungkasnya.
Jogja Mendongeng 2025 bukan hanya tentang cerita, tetapi tentang merawat nilai, mempertemukan generasi, dan menyalakan kembali api kebersamaan lewat kekuatan dongeng. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Jogja Mendongeng 2025, Hangatkan Desa di Yogyakarta Lewat Keintiman Dongeng Penyentuh Hati
| Pewarta | : Soni Haryono |
| Editor | : Ronny Wicaksono |